Enter your keyword

 Teknologi Solar Dryer Dome dari SITH ITB Hadirkan Solusi Pascapanen Rumput Laut di Sumba Tengah

 Teknologi Solar Dryer Dome dari SITH ITB Hadirkan Solusi Pascapanen Rumput Laut di Sumba Tengah

Proses pengeringan rumput laut dilakukan masyarakat menggunakan Solar Dryer Dome inovasi ITB

Sumba Tengah, sith.itb.ac.id – Potensi rumput laut di pesisir Mamboro, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), selama bertahun-tahun belum dimanfaatkan secara optimal. Tantangan utama seperti cuaca yang tidak menentu, proses pascapanen yang kurang efisien, serta minimnya teknologi membuat petani sulit untuk memproduksi rumput laut berkualitas tinggi.

Melalui program Pengabdian kepada Masyarakat (PkM), Institut Teknologi Bandung (ITB) menghadirkan solusi berupa Solar Dryer Dome, teknologi pengering berbasis energi matahari yang dirancang untuk meningkatkan mutu rumput laut serta pelatihan pengolahan produk turunan rumput laut.. Program ini dipimpin oleh Maya Fitriyanti, S.Si., M.T., Ph.D., dosen Kelompok Keilmuan Bioteknologi Mikroba, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, yang didukung oleh Direktorat Pengabdian Masyarakat dan Layanan Kepakaran (DPMK) ITB, serta melibatkan kolaborasi dari sejumlah dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD), yaitu Ir. Poetro Lebdo Sambegoro, M.Sc., Ph.D, dan dosen dari SITH ITB yaitu Dr. Donny Kusuma Hardjani, S.Pt.,M.Si., Dzulianur Mutsla, S.Si., M.T., Ph.D., Ir. Neil Priharto, S.Si., M.T., Ph.D., dan dari Kimia ITB yaitu Alfredo Kono, Ph.D..

Dr. Maya Fitriyanti juga mengungkapkan alasan dipilihnya Sumba Tengah sebagai lokasi pelaksanaan program. “Sumba Tengah memiliki potensi besar dalam budidaya rumput laut, tetapi masih menghadapi banyak kendala pada tahap pascapanen. Daerah ini termasuk wilayah 3T yang membutuhkan dukungan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Karena itu, ITB ingin hadir langsung untuk membantu menjembatani potensi dan kebutuhan tersebut,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa keterlibatan ITB di wilayah tersebut telah terjalin sejak program pengolahan air bersih pada tahun sebelumnya, dan berdasarkan pada informasi dari guru setempat mengungkapkan besarnya potensi rumput laut di daerah Sumba Tengah. Berdasarkan informasi tersebut, ITB melihat bahwa pengembangan teknologi pascapanen merupakan kebutuhan yang sangat penting. Hal ini semakin relevan karena mayoritas masyarakat pesisir bergantung pada budidaya rumput laut, sehingga peningkatan mutu hasil panen dapat berdampak langsung pada peningkatan pendapatan mereka.

Salah satu solusi yang ditawarkan ITB adalah penggunaan Solar Dryer Dome, yakni alat pengering berbentuk rumah kaca yang dirancang untuk memanfaatkan energi matahari dengan lebih optimal. Solar Dryer Dome merupakan alat pengering berbentuk greenhouse yang memaksimalkan panas matahari dalam ruang tertutup. Dr. Maya menerangkan “Alat ini memanfaatkan panas matahari dalam ruang tertutup yang dirancang khusus sehingga udara panas dapat bersirkulasi dengan baik. Hasilnya, rumput laut lebih cepat kering, kurang dari 24 jam, tanpa takut hujan, kotoran, atau gangguan hewan. Mutunya lebih bersih dan masa simpannya lebih lama.” paparnya.

Ia juga menjelaskan bahwa penerapan teknologi tersebut mampu meningkatkan konsistensi mutu rumput laut sehingga memenuhi standar industri. Kemudian, peningkatan kualitas yang lebih terstandar dan konsisten juga diharapkan dapat membuat produk rumput laut semakin diminati oleh pasar.

Perakitan Solar Dryer Dome oleh siswa SMA Kristen Waibakul, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur

Guru SMA Kristen Waibakul, yaitu Melkianus Katanga Malli, S.Pd., yang mendampingi masyarakat dalam penggunaan alat, merasakan perbaikan signifikan. Sebelum penggunaan alat, rumput laut kerap kering tidak merata. Kini tingkat kekeringan lebih seragam, bahkan waktu pengeringan berkurang dari dua hari menjadi hanya 14–18 jam.

Penerapan teknologi ini menunjukkan dampak positif pada produktivitas. Menurut Dr. Maya, kualitas rumput laut yang lebih baik berpeluang meningkatkan harga jual. “Jika kualitasnya naik dan kadar air sesuai standar, harga jual bisa meningkat hingga 2–4 kali lipat. Rumput laut yang lebih bersih juga punya peluang masuk ke pasar industri yang membutuhkan kualitas lebih baik,” jelasnya.

Melky menambahkan bahwa selama musim hujan, biasanya petani hanya mampu mengeringkan 100–200 kg per hari. Dengan Solar Dryer Dome, hasil pengeringan kini dapat mencapai lebih dari 200 kg, bahkan sempat menyentuh 310 kg. Peningkatan produktivitas terjadi karena petani tidak lagi bergantung secara penuh pada panas matahari yang tidak stabil, terutama ketika cuaca ekstrem.

Keberhasilan program ini ditopang oleh pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat sejak perakitan hingga pengoperasian teknologi. ITB menekankan bahwa masyarakat tidak hanya menerima alat, tetapi turut mempelajarinya agar mampu mengelola dan merawatnya secara mandiri. Keterlibatan guru lokal seperti Melkianus Katanga Malli ikut memperkuat pendampingan berkelanjutan, terutama karena wilayah 3T memiliki akses teknologi yang terbatas.

Transfer teknologi kepada generasi muda juga menjadi strategi penting. Guru dan anggota Pramuka di SMA Kristen Waibakul dilibatkan agar keterampilan tidak berhenti di tingkat petani, tetapi diwariskan ke generasi berikutnya. Antusiasme peserta meningkat pesat dari yang hanya beberapa orang menjadi sekitar 30 peserta dan sesi pelatihan lanjutan menunjukkan partisipasi masyarakat yang semakin meluas. Program ini pada akhirnya membentuk kesiapan warga untuk mengoperasikan teknologi secara mandiri sekaligus memperkuat keberlanjutannya di tingkat lokal.

Selain alat pengering, tim SITH ITB juga melatih masyarakat mengolah rumput laut menjadi produk bernilai tinggi. Dr. Maya menjelaskan bahwa “Bubuk rumput laut menjadi yang paling siap dipasarkan karena proses produksinya lebih mudah dan kebutuhan pasarnya besar. Misalnya untuk bahan tambahan pangan. Selain itu, ada edible film atau pelapis alami yang bisa dikembangkan menjadi bahan kemasan ramah lingkungan—ini prospek besar di masa mendatang.” ujarnya.

Produk-produk yang dikembangkan oleh tim SITH ITB menunjukkan bahwa rumput laut memiliki nilai tambah yang jauh lebih besar daripada sekadar komoditas mentah. Bahan ini berpotensi diolah menjadi produk pangan, kosmetik, hingga kemasan ramah lingkungan. Peluang pengembangan semacam ini masih relatif baru bagi banyak petani yang selama ini menjual rumput laut dalam bentuk tradisional, namun pengenalan teknologi pengolahan diperkirakan dapat membuka minat yang lebih luas serta mendorong masyarakat untuk melihat rumput laut sebagai bahan industri bernilai tinggi.

Penerapan teknologi di wilayah 3T menghadapi sejumlah tantangan, terutama karena keterbatasan akses dan infrastruktur. Perubahan dari cara kerja tradisional menuju penggunaan teknologi baru juga membutuhkan proses adaptasi yang tidak bisa berlangsung cepat. Karena itu, pendekatan yang digunakan harus dilakukan secara bertahap serta disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Selain itu, kondisi Mamboro yang berangin kencang dan minim fasilitas membuat desain alat dan metode pelatihan perlu disesuaikan. Untuk menjaga pendampingan tetap berlanjut, ITB melibatkan guru-guru lokal sebagai pendukung utama di lapangan.

ITB memastikan bahwa komitmen tersebut tidak akan berhenti saat program selesai. Sebagai penutup Dr. Maya menjelaskan bahwa, “Kami membekali masyarakat dengan kemampuan operasional dan perawatan alat, serta menunjuk penggerak lokal agar pemanfaatan teknologi tepat guna terus berlanjut. ITB juga akan tetap menjalin komunikasi dan merencanakan kolaborasi lanjutan, terutama dalam peningkatan kapasitas alat pengering dan pengembangan produk berbasis rumput laut.” tutupnya.

Melalui inovasi Solar Dryer Dome dan pelatihan pengolahan rumput laut, ITB menunjukkan bagaimana teknologi tepat guna dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen masyarakat pesisir. Kolaborasi ini membuka peluang baru bagi petani Sumba Tengah untuk memperoleh pendapatan lebih stabil dan mengembangkan usaha berbasis komoditas lokal.

Kontributor: Rini Berliani (Biologi 2025)

Editor: AKH

X