Enter your keyword

Battleground Earth : Prosper or Famine

Battleground Earth : Prosper or Famine

Selama berabad-abad, para petani di dunia telah mengadopsi berbagai teknologi baru dari berbagai bidang ilmu untuk mengejar hasil lebih besar dengan keyakinan bahwa “bigger is better”. Kondisi ini menyebabkan pertanian pada level kecil menjadi sesuatu yang tidak menjanjikan dan menjadi permasalahan baru pada sistem pertanian pada daerah dengan kontur alam yang tidak memungkinkan lahan pertanian dalam ukuran besar.

Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi masa lalu di mana teknologi robotik, sensor, big data analysis, biosynthetic, bioengineering, internet, dan agrobiodiversity menjadi disruptive technology bagi model agribisnis yang mengandalkan produksi pada skala besar. Di masa depan, pertanian akan kembali kepada fase awal mereka: small, efficient, economically feasible yet environmentally friendly. Di sisi lain, pertumbuhan populasi dunia menjadi justifikasi bagi pertanian modern untuk meningkatkan produksi makanan hingga 70% pada tahun 2050 dengan kondisi keterbatasan lahan, peningkatan kebutuhan akan air bersih (pertanian mengkonsumsi 70% suplai air bersih dunia), dan pengaruh perubahan iklim. Dalam kondisi ini, akan semakin nyata ramalan dari Geoffry Car, Science Editor dari majalah The Economist yang menyatakan bila pertanian akan selalu berperan untuk memberi makan dunia maka mereka harus berkembang menjadi seperti industri manufaktur1.

Tantangan kita saat ini adalah: bagaimana disruptive technology tersebut di atas, dikombinasikan dengan biologi Helping hand from mother nature:  on diversity and preservation of the old ways. Sejak kelahiran ilmu pertanian di dunia, alam merupakan sekutu terbaik bagi seluruh petani yang sangat mengapresiasi tanah, air, udara, sinar matahari, dan hewan. Sistem pertanian konvensional yang lahir dari revolusi hijau mencoba menggantikan jasa dari alam dengan pendekatan teknologi untuk meningkatkan hasil yang seringkali memberikan pengaruh negatif pada lingkungan di sekitar pertanian dan manusia2.

Apresiasi terhadap jasa dari alam sendiri mulai muncul kembali pada sistem pertanian berukuran kecil dengan pendekatan pertanian organik dan permakultur, sementara model agroforestri dikembangkan untuk sistem yang lebih besar. Pertanian adalah ilmu klasik yang dimiliki oleh seluruh peradaban manusia. Pada perkembangannya setiap daerah di dunia mengembangkan sistem pertanian khusus untuk kondisi lingkungan tertentu. Pengetahuan klasik ini sendiri mulai dikumpulkan dan diaplikasikan kembali terutama untuk budidaya produk-produk lokal. Hal ini mulai dilakukan oleh Jepang dengan Satoyama Initiative dan Slow Food Movement International pada produk lokal daerah Afrika3. Di sisi lain, pendekatan ekonomi untuk menentukan peran dari jasa ekosistem dapat memberikan panduan besar bagi pengembangan aturan-aturan baru berkaitan dengan konservasi area alami di sekitar pertanian dan perlindungan terhadap jasa tersebut seperti Pollinator Incentive dan Pollinator Partnership Action Plan4.

Hal yang penting untuk dicermati adalah, bahwa meskipun terdapat terdapat lebih dari 50.000 tumbuhan yang dapat dimakan di dunia, 90% kebutuhan nutrisi dunia dipenuhi oleh 15 jenis tanaman berdasarkan estimasi dari FAO, sementara 2/3 sumber karbohidrat dunia dipenuhi oleh tiga jenis tanaman : padi, jagung, dan gandum3.  Ketergantungan ini menyebabkan masalah terutama berkaitan dengan perubahan iklim dan serangan hama sehingga meningkatkan aplikasi pestisida. Produk pangan modern sendiri mengalami penurunan kandungan nutrisi5. Padahal, jutaan tahun adaptasi pada lingkungan yang  bervariasi dan ekstrim di berbagai belahan melahirkan diversitas genetik yang tinggi dan keunikan pada setiap tanaman. Variasi ini digunakan oleh para peneliti untuk menghasilkan varietas baru yang digunakan oleh petani atau dijaga oleh praktisi untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan varietas “lokal” tersebut. Hal yang memprihatinkan adalah kurang lebih 20% dari tanaman dunia terancam pada kepunahan dengan 70% dari kerabat “liar” dari tanaman pangan dunia membutuhkan usaha untuk dikonservasi6,7. Konservasi dari biodiversitas ini telah menjadi perhatian khusus yang ditunjukkan oleh The Crop Trust yang mengelola Svalbard Global Seed Vault yang telah menyimpan 880.00 sampel biji dunia. Contoh perusahaan startup yang memanfaatkan pengetahuan ini adalah Terviva.

 Di dalam perkembangan bioteknologi modern, variasi genetik ini diselidiki dan direkayasa lebih lanjut melalui Genome editing untuk melahirkan variasi baru pada tanaman. Teknik seperti CRISPR/Cas9 dan Rapid Trait Development System (RDTS) menjadi alat utama bagi dalam mendesain benih baru oleh DuPont, Monsanto, dan Syngenta1. Pendekatan genetik dan molekular sendiri dapat berperan pada perlindungan pasca panen melalui pengetahuan akan gen penyebab pembusukan pada pisang, sebagai contoh. Contoh perusahaan startup yang memanfaatkan pengetahuan ini adalah Trace GenomicsDoing farming differently:  how Biology rules

Paparan di atas hanyalah segelintir dari apa yang keilmuan Biologi bisa berikan untuk sektor pertanian. Kita bisa melihat ini melalui cabang ilmu Hayati yang beragam. Sebagai contoh, mikroorganisme memiliki peran menguntungkan bagi pertanian sebagai agen yang membantu mengikat nitrogen dari udara dan merubahnya menjadi nitrat, pupuk alami bagi seluruh tumbuhan, agen pengendali hayati bagi hama, bahkan sebagai sumber makanan tersendiri. Dalam kaitannya sebagai sekutu bagi petani, konsorsium Monsanto dan Novozymes yang dikenal dengan nama BioAg telah melepaskan produk pertanian berbasis mikroba dan mengujikan lebih dari 2000 jenis bakteri untuk meningkatkan produktivitas jagung dan kedelai. Perusahaan starup seperti Indigo mengujikan 40.000 jenis bakteri untuk mengatasi masalah kekeringan dan garam pada lahan pertanian.

Sains tumbuhan membuka rahasia-rahasia di balik pertumbuhan tanaman secara lebih mendalam. Fotosintesis merupakan konsep paling dasar pada sains tumbuhan dan merupakan energi yang menghidupi pertanian. Proses ini sendiri mengkonversi 5% dari energi yang diterima oleh tumbuhan menjadi biomasa. Tantangan yang dihadapi oleh pertanian adalah instensitas sinar matahari tidak dapat dirubah, daerah dengan intensitas tinggi akan terdapat proses photoprotection sedangkan pada daerah dengan intensitas cahaya rendah akan menurunkan jumlah energi yang diterima oleh utuk proses fotosintesis. Krishne Niyogi dari Universitas of California, Berkeley mengatasi dengan mendesain pigmen yang memantulkan kelebihan sinar matahari sedangkan Anastasios Melis dari universitas yang sama mengurangi kandungan klorofil untuk mengatasi kedua masalah ini8.

Dalam kaitannya dengan protein hewani, pada tahun 2050 permintaan daging dunia akan naik hingga 73% setara dengan 160 juta ton daging per tahun9. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena proses produksi daging sendiri merupakan proses yang tidak efisien, 15.415 liter air dan 10 kilogram protein tanaman dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging sapi10. Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi ini adalah meningkatkan efisiensi proses produksi dengan teknologi sensor  untuk mendeteksi perubahan pada fisiologis dari hewan11, pendekatan perusahaan startup Bovcontrol. Produksi sumber  pakan baru bagi ternak dengan menggunakan serangga sebagai sumber protein dan lemak juga telah dilakukan oleh Agriprotein.

Pendekatan lebih ekstrim dilakukan oleh Impossible Food, Beyond Burger yang mengembangkan daging “palsu” dari tumbuhan dan Memphis Meats yang mengembangkan daging melalui metoda stem cells10. Pilihan lain yang tersedia bagi manusia dan telah dilakukan oleh 2 milyar penduduk dunia adalah mengkonsumsi serangga yang membutuhkan energi, air dan tempat dengan kualitas daging tidak berbeda dengan daging sapi11,12,13 selain dapat dipelihara dengan menggunakan limbah dari pertanian14.  

Towards smart(-er) farming

Pendekatan yang paling umum dilakukan sekarang adalah pengembangan smart farming dengan teknologi sensor, robotik, remote sensing, dan otomatisasi15. Tujuan dari penggunaan teknologi ini adalah menghasilkan produk pertanian dengan pada skala lebih kecil tanpa penurunan hasil. Pendekatan presisi dan efisiensi merupakan ciri utama dari sistem pertanian ini, dimana sistem bertani dikembangkan dan dilakukan dengan pendekatan industri15. Sistem ini memungkinkan pertanian untuk dilakukan pada skala kecil, dekat dengan pasar, tidak terbatas pada kondisi lingkungan, dan mampu mempertahankan tingkat kesegaran produk hingga beberapa kali lebih lama dari umur simpan alaminya, walau hambatan untuk Indonesia masih terdapat pada

suplai energi bagi sistem tersebut. Startup pada model ini merupakan startup paling besar dengan nilai startup mendekati 500 juta dolar. Alumni SITH ITB sendiri sudah mulai menunjukkan perannya melalui Gibran dengan produk E-fisherynya.

Upaya untuk menghasilkan sistem pertanian modern ini membutuhkan dua hal yang menyebabkan manusia menjadi makhluk hidup paling dominan, ingenuity dan cooperative works. Kesuksesan ini dapat menjamin pada tahun 2050, anak cucu kita di Bandung, Pontianak, atau Bau-Bau akan dapat mengatasi masalah yang mereka hadapi dengan perut penuh.

Referensi

1The Economist. http://www.economist.com/technology-quarterly/2016-06-09/factory-fresh

2Garbach K. et al. EncyclopediaofAgricultureandFoodSystems,Volume2

3Gruber K. Nature 544, S21-S23 (2017). S8-S11 (2017)

4Pollinator partnership action plan. https://www.whitehouse.gov/sites/whitehouse.gov/files/images/Blog/PPAP_2016.pdf

5Davis, D.R. et al. J. Am. Coll. Nutr. 23, 669-682 (2004).

6Castañeda-Álvarez, N. P. et al. Nature Plants 2,16022 (2016).

7Brummitt, N. A. et al. PLoS ONE 10, e0135152(2015).

8Bourzag K. Nature 544, S21-S23 (2017). S11-S13 (2017).

9McLeod, A. (ed.) World Livestock 2011 : Livestock in Food Security (FAO, 2011).

10Heffernan O. Nature 544, S18-S20 (2017).

11King, A. Nature 544, S21-S23 (2017).

12Finke, M.D. Zoo Biol. 21, 269-285 (2002).

13Oonincx, D.G.A. & de Boer, I.J.M. Plos One 7, e51145 (2012)

14Manurung, R. et al. J. Entomol. Zool. Stud. 4(4), 1036-1041 (2016).

15Guerin, F. The Future of Agriculture? Smart Farming. Forbes. https://www.forbes.com/sites/federicoguerrini/2015/02/18/the-future-of-agriculture-smart-farming/#5a7df4be3c42

Sumber : berita SITH edisi ke-2

X