FORESTRY ENGINEERING GOES TO SAWAHDADAP : BELAJAR LANGSUNG PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DARI MASYARAKAT
Penulis: Nur Faiz Ramdhani (Rekayasa Kehutanan 2015)
SITH.ITB.AC.ID, JATINANGOR – Tiga aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan hutan secara lestari adalah aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Hutan rakyat (hutan hak yang dimiliki oleh masyarakat) memiliki karakteristik khas yang berbeda dari hutan negara dalam hal pengelolaannya, terutama aspek ekonomi dan sosialnya. Program studi Rekayasa Kehutanan melalui mata kuliah pilihan Pengelolaan Hutan Rakyat yang diampu oleh Dr. Tien Lastini S.Hut, M.Si dan Dr. Sopandi Sunarya S.Hut, M.Si kembali mencoba mengenalkan langsung mahasiswanya pada hutan yang dikelola sendiri oleh masyarakat beserta sisitim kelolanya melalui kuliah lapang.
Kuliah lapang yang diselenggarakan pada Sabtu (24/03) ini dilaksanakan di kawasan hutan pendidikan (KHDTK) Gunung Geulis – ITB, tepatnya di desa Sawahdadap, dusun Naringgul, Kec. Cimanggung, Kab. Sumedang. Kegiatan utama yang dilakukan adalah mempelajari karakteristik fisik hutan rakyat, menganalisis nilai finansial hutan rakyat dan menganalisis kelestarian hutan yang dikelola oleh masyarakat di salah satu lahan milik masyarakat.
Pada hutan rakyat desa Sawahdadap, masyarakat menanam tanaman musiman di bawah tanaman hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Jenis tanaman musiman yang banyak di hutan rakyat ini adalah kopi, cabai, jahe merah, dan talas. Tanaman tersebut tumbuh di sela-sela jati putih, tisuk dan sengon. Sistem penanaman ini (agroforestry) memungkinkan masyarakat tetap memperoleh hasil sehari-hari dari lahannya (melalui hasil panen tanaman musiman) tanpa harus menunggu masa tebang kayu yang memerlukan waktu hingga 5-10 tahun.
Hal menarik dalam pengelolaan hutan rakyat di Sawahdadap, dimana telah tumbuh kesadaran masyarakat tentang pentingnya menanam tanaman hutan (pohon). Kesadaran tersebut muncul sejak terjadinya musibah longsor di desa Sawahadadap beberapa tahun lalu. Sebelumnya, masyarakat banyak menanam singkong di lahan miring, yang menjadi penyebab tingginya erosi dan meningkatnya risiko terjadinya longsor. Masyarakat kemudian mulai mengganti tanaman singkong dengan tanaman hutan, karena menyadari bahwa pohon penting untuk mengurangi risiko longsor dan dapat menjaga sumber air bagi kehidupan mereka. Disamping bisa menghasilkan keuntungan melalui pemanenan kayu maupun hasil dari tanaman musiman seperti kopi dan cabai, para warga pemilik hutan rakyat pula menyatakan senang mendengar kabar bahwa pengelolaan hutan Gunung Geulis yang kini dikelola oleh ITB dengan SITH sebagai koordinatornya. Masyarakat sangat berharap bisa bekerjasama dalam mengelola hutan di kawasan Gunung Geulis dan terintegrasi dengan pengelolaan hutan rakyat maupun dengan skema sosialnya.
“Hutan subur, masyarakat makmur” kata salah seorang anggota kelompok tani di desa Sawahdadap, kurang lebih begitu filosofi yang ingin diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat. Belajar pengelolaan hutan langsung dari masyarakat penting bagi Foresters karena untuk mengelola hutan secara lestari, foresters harus memahami pandangan masyarakat (world view) terhadap hutan maupun hutan rakyat miliknya. Pengelolaan hutan akan lestari jika masyarakat memiliki rasa kepemilikan dan mendapatkan keuntungan langsung dari adanya hutan. Kuliah lapang ini penting bagi mahasiswa Rekayasa Kehutanan agar solusi rekayasa yang bisa diterapkan oleh para foresters dapat diterima oleh masyarakat dan terciptalah pengelolaan hutan lestari, terutama di hutan milik atau hutan rakyat.