Kuliah Tamu SITH ITB : Kenalkan Keanekaragaman Hayati Tanah Papua dan Tekankan Pentingnya Konservasi

(Dok. WDS SITH)
BANDUNG, sith.itb.ac.id – Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan kuliah tamu Biosistematik (BI2205) dan Bioetika (BI2207) pada, Rabu (19/2/2025). Pemateri dalam kesempatan tersebut ialah Kristian Maurits Kafiar, dari Fauna Flora International (FFI), organisasi konservasi yang berdiri tahun 1903 dan saat ini beroperasi di lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, FFI berada di bawah koordinasi Kementerian Kehutanan dan memiliki kantor di berbagai wilayah, dari Aceh hingga Papua. Kristian memberikan materi kuliah kepada mahasiswa dengan topik “Mengenal Keanekaragaman Hayati Tanah Papua”.

(Dok. WDS SITH)
Menurut Wakil Dekan SITH ITB, Dr. Angga Dwiartama, SITH ITB telah banyak berinteraksi dengan FFI, terutama di daerah Jambi dan Papua. “Banyak kajian yang dilakukan tentang keanekaragaman hayati, kehidupan masyarakat dan pendekatan membangun konservasi hayati,” ujar Dr. Angga
Berbicara tentang keanekaragaman hayati. Kristian Menjelaskan bahwa sebanyak 80% dari kawasan Raja Ampat merupakan kawasan lindung, dan banyak spesies unik menjadi fokus konservasi. FFI mencatat sedikitnya 41 spesies target konservasi, termasuk burung Cendrawasih (dengan 28 spesies yang sebagian besar endemik), maleo Waigeo yang hanya berkembang biak setiap tiga tahun sekali, dan berbagai jenis burung paruh bengkok yang populasinya semakin terancam akibat perburuan liar. Mamalia endemik yang menjadi target penelitian mencakup Echidna moncong panjang barat, Kanguru pohon kelabu, serta berbagai marsupial unik lainnya. Dari aspek flora, beberapa spesies penting yang ditemukan di Papua antara lain anggrek biru Dendrobium azureum, palem raja ampat, damar papua, serta berbagai spesies Rhododendron yang persebarannya terbatas.
Penelitian yang dilakukan oleh FFI juga melibatkan survei spesies laut seperti dugong dan lumba-lumba merah muda di wilayah pesisir. Program riset yang telah berjalan sejak 2019 mencakup survei burung endemik, distribusi echidna, serta pelepasan tukik penyu hijau yang memiliki musim telur antara April hingga Agustus. Berdasarkan hasil penelitian, telah diidentifikasi lebih dari 1.354 spesies tumbuhan, 42 spesies mamalia, 114 spesies herpetofauna, dan 274 spesies burung di Raja Ampat. Sedangkan di Kabupaten Sorong dan Tambrauw masih menyimpan banyak spesies yang belum teridentifikasi, sehingga upaya eksplorasi dan penelitian terus dilakukan.
Keunikan spesies di Papua disebabkan oleh perbedaan lempeng geologi yang membentuk ekosistem tersendiri. Berbeda dengan pulau lain di Indonesia, Papua tidak banyak memiliki spesies karnivora seperti harimau atau kobra, tetapi kaya akan flora dan fauna yang tidak ditemukan di tempat lain. Sayangnya, banyak spesies ini menghadapi ancaman akibat perburuan liar dan eksploitasi habitat.
Dalam upaya konservasi, FFI juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal. Pendekatan etnobotani menjadi salah satu cara untuk memahami bagaimana masyarakat Papua memanfaatkan sumber daya alam. Masyarakat Papua melihat hutan dan laut sebagai sumber kehidupan utama mereka, dan banyak tanaman di daerah ini digunakan sebagai obat tradisional atau bahan kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, FFI melibatkan masyarakat dalam penelitian dan pelatihan survei flora dan fauna untuk meningkatkan kesadaran serta keterampilan mereka dalam menjaga keanekaragaman hayati.
“Upaya konservasi di Papua tidak hanya mencakup aspek ilmiah tetapi juga berhadapan dengan tantangan administratif dan sosial. Hak pengelolaan lahan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah, tetapi juga harus diselaraskan dengan masyarakat adat. Oleh karena itu, FFI berperan dalam mendampingi masyarakat agar dapat mengelola tanah mereka secara berkelanjutan tanpa mengorbankan lingkungan,” papar Kristian yang merupakan Indigenous people empowerment & spatial planning coordinator FFI.
Dari kuliah tamu tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa alam dan konservasi membutuhkan figur yang dapat memberikan inspirasi positif. Kedua, diperlukan adanya kajian biodiversitas yang memperkuat masyarakat tanah Papua. Ketiga, inventarisasi dan upaya perlindungan hayati menjadi alat untuk pelestarian budaya. Keempat, pendampingan terhadap kelompok masyarakat adalah proses belajar kedua belah pihak dan yang terakhir, masyarakat adalah kunci keberlanjutan program konservasi dari pegunungan hingga pesisir.
Di akhir kuliah tamu, Dosen Pengampu Mata Kuliah Biosistematik, Dr. Dian Rosleine menekankan pentingnya pemahaman tentang konservasi yang memiliki cakupan yang sangat luas. Mulai dari ilmu dasar hingga manajemen, masih banyak peluang kerja yang tersedia dalam bidang ini. Selain pengetahuan teknis, keterampilan komunikasi serta kemampuan bekerja sama dengan masyarakat juga sangat dibutuhkan. “Semoga kuliah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi kita semua,” tutur Dr. Dian.
Pewarta : Alfina Nurul Ayni (Biologi 10621005)
Editor : Ardhiani Kurnia Hidayanti