Emas Hitam Cair Van Bandung
Gambar jaring laba-laba dan sekumpulan jentik nyamuk berwarna hitam-putih itu tampak seperti Autumn Rhythm, lukisan abstrak karya jackson Pollock. Namun pola tersebut bukanlah karya seni rupa, melainkan foto mikroskopis dari Trichoderma asperellum, mikroba dari keluargajamur.
“Jamur ini adalah kunci dari pencairan batu bara,” kata Pingkan Aditiawati, peneliti fisiologi mikroba dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Selasa pekan lalu. Dia menunjukkan foto Trichoderma tersebut di Laboratorium Bioproses ITB.
Pencairan batu bara atau biosolubilisasi, menurut Pingkan, adalah cara lain memanfaatkan si emas hitam. Caranya dengan memanfaatkan mikroba jamur, seperti keluarga Trichoderma. Hasilnya berupa bahan bakar minyak sekelas bensin dan solar.
Selama ini kata Pingkan, batu bara merupakan salah satu sumber energi di dunia. World Energy Council mencatat dunia memiliki cadangan 891,5 miliar ton lebih batu bara. Sebanyak 28 miliar ton di antaranya berada di Indonesia.
Namun penggunaan batu bara sebagai bahan bakar menyebabkan masalah lingkungan. Senyawa sulfur, nitrogen oksida, dan logam berat yang dikeluarkan saat pembakaran batu bara berdampak buruk bagi manusia dan alam. Terlebih, 80 persen batuarang di Indonesia masih berumur muda. Itu berarti mengandung kalori rendah dan tak efektif digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap. Karena itu, Pingkan bersama Dea Indriani Astuti, peneliti mikrobiologi fermentasi, dan Dwiwahju Sasongko, pakar teknologi proses biomassa batu bara, membuat riset ini untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.
Studi ini bermula dari penelitian biodesulfurisasi, atau penguraian sulfur batu
bara, menggunakan mikroba. studi yang dilakukan Irawan Sugoro, mahasiswa doktoral di bawah bimbingan ketiga peneliti itu, selesai pada 2012. Dari situ dimulailah studi panjang biosulibilisasi.
Pingkan, Dea, dan Dwiwahju memulainya dengan mencari organisme yang cocok untuk mencairkan batu bara. Tambang batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dipilih untuk mengambil sampel awal. Dari sampel tersebut, mereka menemukan koloni jamur Trichoderma sp. dan Bacillus sp. alias bakteri yang cocok untuk biosolubilisasi.
Biosolubilisasi, kata Dwiwahju, bisa disebut sebagai proses memutar kembali rantai pembentukan batu bara. Sebelum menjadi batu hitam penghasil energi, batu bara mulanya adalah makhluk hidup mikoorganisme, seperti plankton, yang menjadi fosil. Dalam waktu jutaan tahun, bangkai makhluk hidup mikroskopis itu berubah menjadi minyak, gas alam, dan batu bara.
“Nah, Trichoderma dapat memutar kembali rantai itu,” kata Dwiwahju. Caranya dengan memakan batu bara. Jamur pun berkembang biak dan membentuk koloni di permukaan batu. Kegiatan memamah biak jamur ini berujung pada keluarnya cairan semacam bahan bakar minyak, “Sekaligus menetralkan kandungan berbahaya dalam batu bara.”
Dwiwahju menyebut empat senyawa di dalam jamur yang mempercepat pencairan batu bara. yakni fenolik, yang menjadi senyawa mayor; aromatik; asam humat; dan asam fulvat.
Skema pencairan batu bisa dibilang cukup kompleks (lihat infografik). Ada dua metode yang digunakan Dwiwahju dan tim: submerged dan solid state. Batu bara lebih dulu dihaluskan hingga berukuran 200-400 mesh (0.037-0.074 milimeter).
Pada fase submerged, batu bara kemudian dilarutkan dengan air sebagai medium pencampuran dengan Trichoderma. Sedangkan dengan metode solid state hanya perlu menaburkan jamur pada batu bara halus. Kedua cara ini sama-sama berhasil mengeluarkan cairan bahan bakar dalam waktu 28 hari pada percobaan skala bioreaktor berukuran lima kilogram.
Dari kedua metode itu, ketiganya sepakat cara submerged memiliki kendala lebih besar ketimbang solid state. Proses ini menemui kendala saat memisahkan air dan ampas lainnya, sehingga, “Tak lagi efisien dalam penerapan skala besar,” ujar Dea. Mereka berkesimpulan, cara kedua lebih efisien.
Meski cara kedua tersebut bisa dikatakan inovatif dan cukup maju, Misri Cozan, pakar teknologi bioproses dari Universitas Indonesia, yang tak tergabung dalam penelitian, berpendapat bahwa studi yang dilakukan tim ITB akan menemui banyak kendala. Pertama, hal itu akan memakan waktu lama. “Proses mikrobiologis jauh iebih lambat ketimbang kimiawi,” ujar Misri. Dia menyebut proses kimiawi akan selesai dalam hitungan detik dan menit, sedangkan apa yang dilakukan Dwiwahju dan rekan-rekan akan memakan waktu dalam hitungan jam dan hari.
Kendala kedua muncul saat skala produksi yang mencapai jutaan ton. Selain membutuhkan waktu yang lama, harus membuat teknologi reaktor yang cukup besar. Ketiga ialah pemisahan minyak dari batu bara dan mikroba. “Ini butuh teknologi purifikasi yang cukup tinggi,” ujarnya.
Namun Misri angkat topi atas kerja keras Dwiwahju dan tim. Selama ini, menurut dia, penelitian batu bara dari segi biologis lebih banyak berfokus pada konversi panas. Dia menyebut ketiga kendala yang ada bisa diatasi dengan riset rekayasa genetika. “Saat kendala teratasi, biaya akan jadi lebih murah.”
Tim dari ITB memang sedang menyiapkan riset lain untuk melengkapi biosolubilisasi batu bara, termasuk proses purifikasi dan genetika yang disebut Misri. Target akhirnya, kata Dwiwahju, dapat diterapkan langsung secara in situ di tambang batu bara. (Sumber : Majalah Tempo, 17-01-16)